Sebelum kita mengenal lebih jauh sosok perempuan bernama SITTI MAROYA, marilah kita mengenal lebih dahulu Dewi Sri. Sosok kedua tokoh ini adalah sama, namun hanya berbeda nama. Untuk di Tanah Kaili, Dewi Padi itu dikenal dengan nama SITTI MAROYA.
MENGENAL DEWI SRI DAN NYI RATU KIDUL
Fakta bahwa wilayah laut Indonesia adalah dua pertiga dari wilayah Indonesia
secara keseluruhan, menjadikan Indonesia negara kepulauan terbesar di dunia,
yang melahirkan keyakinan bahwa ada kekuatan lain yang mengendalikan lautan.
Kehadiran cerita-cerita rakyat bukan hanya sebagai hiburan,
tetapi juga sebagai sebuah media pendidikan. Melalui cerita-cerita tersebut,
generasi sebelumnya mengajarkan nilai-nilai yang datang dari realitas.
Indonesia telah dikenal sebagai sebuah negara agraris dan maritim, sehingga
kaya akan cerita-cerita berkaitan dengan kehidupan agrikultur dan lautan.
Meminjam kata Nenola (1999) dalam buku yang
berjudul “Gender, Culture and Folklore”, melalui cerita rakyat secara tidak
langsung pembaca dari generasi ke generasi juga diajarkan mengenai konstruksi
gender, maskulinitas, feminitas, dan peran gender. Cerita rakyat adalah salah
satu karya literasi yang hidup begitu lama di tengah masyarakat di mana persebarannya
dibawa dari mulut ke mulut.
Mitos, sebagai salah satu dari tiga bentuk cerita rakyat yang mengajarkan
kehidupan tuhan atau setengah tuhan dalam relasinya dengan manusia. Mitos
mengisi sebuah peran penting dalam mengonstruksi cara pandang dan kesadaran
masyarakat.
Sehingga menjadi sangat wajar apabila masyarakat agraris
Indonesia masih melestarikan tradisi pemujaan kepada Dewi Sri sebagai Dewi Padi
dalam upacara simbolis mempersembahkan sesaji kepada Dewi Sri sebagai dewi
kesuburan agar hasil panen baik dan melimpah. Begitupun juga dengan pemujaan
terhadap Nyi Ratu Kidul sebagai penguasa lautan.
Sejak era Paleolitik, jauh sebelum keberadaan Yudaisme,
Kristen, Islam, Budha, dan Hindu sudah ada kepercayaan yang meyakini sang Dewi,
yaitu, Dewa yang dibayangkan dalam karakter perempuan, sosok Dewi Sri dan Nyi
Ratu Kidul bisa dianggap sebagai Dewa perempuan yang melegitimasi kekuatan,
cinta, dan kemandirian perempuan. Mitos tersebut menunjukkan bahwa perempuan
sejak zaman itu telah mendapatkan posisi tertinggi dan tidak terpinggirkan.
Dua sosok perempuan tersebut merupakan contoh cerita rakyat
yang telah diyakini dari generasi ke generasi memberikan gambaran tentang
keberadaan pemimpin perempuan sebagai penjaga alam, menjaga keselarasan antara
kehidupan manusia dan alam, dan menjamin kelangsungan kehidupan di bumi. Adalah
Dewi Sri yang hadir sebagai Dewi Padi dan Kemakmuran. Sedangkan Nyi Ratu Kidul
sebagai dewi yang menguasai lautan, melindungi dan mendukung kepemimpinan raja
Mataram.
Perempuan dan alam dalam masyarakat yang patriarkial selama
ini dilihat sebagai objek yang layak untuk dieksploitasi. Ialah ekofeminisme
yang dalam hal ini menjadi sebuah kerangka berpikir dalam melihat dua sosok
perempuan ini. Ekofeminisme lahir sebagai sebuah gerakan sosial yang memiliki
ideologi yang kuat dalam melawan eksploitasi perempuan dan alam, termasuk
pertumbuhan ekonomi yang tidak memperhatikan keberlangsungan ekosistem.
Ekofeminisme sendiri tidak hanya memahami relasi manusia dengan manusia lainnya,
tetapi juga dunia selain manusia, seperti hewan dan tumbuhan.
Dewi Sri dan Nyi Ratu Kidul sama-sama terlahir
dari masyarakat agraris dan maritim. Dikenal sebagai Dewi Padi (Rice Goddess),
Dewi Sri dianggap sebagai asal dari tumbuhnya ladang padi di Jawa. Sedangkan
Nyi Ratu Kidul adalah seorang ratu dari kerajaan jinn yang mengontrol dan
menguasai lautan. Melalui dua sosok perempuan sebagai pemain utama tersebut,
perempuan juga menunjukkan perannya pembawa sumber makanan dan penjaga alam,
khususnya lautan.
Padi merupakan salah satu makanan pokok bagi sebagian besar
masyarakat Indonesia. Sehingga tidak heran kebanyakan masyarakatnya bekerja
sebagai petani, mengolah sawah dan menanam padi. Dalam Cariyos Dewi Sri yang
disimpan di Museum Sonobudoyo, Dewi Sri merupakan makhluk yang berasal dari
surga (kahyangan), turun ke bumi untuk membawa biji-biji padi sehingga manusia
di bumi (Jawa) terbebas dari kurangnya bahan-bahan makanan. Perjuangan Dewi Sri
juga ditunjukkan ketika ia harus melindungi biji-biji padi tersebut sebelum
sampai pada orang yang tepat, mengingat tanaman padi akan selalu mendapat
ancaman dari binatang-binatang yang tidak diinginkan (hama).
Ekofeminisme Spiritualisme
Keberadaan perempuan sebagai penjaga alam dalam mitos Dewi
Sri dan Nyi Ratu Kidul menunjukkan bahwa perempuan diyakini sebagai sumber
kehidupan. Perempuan sebagai ibu kehidupan, Ibu Pertiwi. Dewi Sri sebagai
sumber kemakmuran ada di sini untuk memberikan kehidupan melalui biji-biji
makanan pokok dalam bentuk beras yang ia bawa dari surga, mengajarkan cara
menanam, dan merawatnya, bahkan mengajarkan cara menghindari hama yang
mengancamnya.
Mitos Dewi Sri sebagai makhluk dari surga bukan manusia ini
sesuai dengan ideologi ekofeminisme spiritual, yang menarik analogi antara
peran perempuan dalam produksi biologis dan peran pola dasar sebagai pemberi
kehidupan dan pencipta segala sesuatu yang ada.
Sedangkan Nyi Ratu Kidul sebagai penguasa samudera
menunjukkan bahwa sosok ibu sebagai pemberi cinta dan kehidupan yang ada di
lautan. Tanpa bantuan Nyi Ratu Kidul, Panembahan Senapati tidak akan bisa
menjadi raja Mataram. Selama tiga hari tiga malam, tinggal di istana Nyi Ratu
Kidul, Senapati mendapat pelajaran dari Nyi Ratu Kidul tentang bagaimana
menjadi raja yang memimpin manusia dan selain manusia (jin, dan peri).
Dari motif ini, dapat dipahami bahwa salah satu sumber
kekuatan seorang raja (pemimpin) adalah perempuan yang menyatu dengan alam.
Untuk mencapai kekuatannya, maskulinitasnya sebagai seorang raja, membutuhkan
bantuan dan dukungan dari feminitas. Sebab, sumber pengetahuan dan kekuasaan
pada dasarnya adalah feminitas yang dilambangkan oleh sosok Nyi Ratu Kidul,
penguasa lautan. (K-MR)
0 komentar:
Posting Komentar