Pohon sagu dan palem merupakan jenis tanaman dataran rendah
tropik yang banyak ditemukan tumbuh liar di kawasan hutan Dolo, Donggala,
Sulawesi Tengah, Indonesia. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, asal usul
kedua jenis pohon ini berasal dari tubuh manusia atau penjelmaan manusia. Hal
ini dikisahkan dalam sebuah legenda yang hingga kini masih dipercayai
kebenarannya oleh masyarakat setempat.
Alkisah, di daerah Donggala, Sulawesi Tengah, hidup sepasang
suami-istri bersama seorang anak lelakinya. Mereka tinggal di sebuah rumah tua
yang terletak di pinggir hutan Dolo. Hidup mereka sangat miskin. Untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari, mereka mencari buah-buahan dan hasil hutan lainnya yang
tersedia di sekitar mereka.
Semakin lama sang Suami pun merasa bosan hidup dengan keadaan
seperti itu. Akhirnya, timbullah niatnya ingin membuka lahan perkebunan yang
akan ditanami dengan berbagai jenis tanaman palawija dan sayur-sayuran. Suatu
hari, ia pun menyampaikan niat baiknya tersebut kepada istrinya.
“Dik! Bagaimana kalau kita berkebun saja” Aku sudah bosan
hidup seperti ini terus,” ungkap sang Suami.
Alangkah senang hati sang Istri mendengar rencana suaminya.
Ia merasa bahwa suaminya akan berubah untuk tidak bermalas-malasan bekerja.
“Bang, kita mau berkebun di mana” Bukankah kita tidak
mempunyai lahan untuk berkebun?“ tanya sang Istri.
“Tenang, Dik! Besok Abang akan membuka hutan untuk dijadikan
lahan perkebunan,” jawab sang Suami.
“Baiklah kalau begitu, aku setuju,” kata sang Istri.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali sang Suami berangkat ke
hutan Dolo. Setelah beberapa lama menyusuri hutan, ia pun menemukan tempat yang
cocok untuk dijadikan lahan perkebunan.
Sementara itu, sang Istri bersama anaknya menunggu di rumah
sambil menyiangi rerumputan yang tumbuh di pekarangan rumah agar ular tidak
mengganggu mereka. Menjelang sore hari, sang Suami pulang dari hutan sambil
membawa buah-buahan untuk persiapan makan malam mereka. Istrinya pun
menyambutnya dengan penuh harapan. Usai menyuguhkan minuman, sang Istri
bertanya kepada suaminya.
“Bang, bagaimana hasilnya” Apakah Abang sudah menemukan
tempat yang cocok untuk dijadikan lahan perkebunan”
“Iya, Dik! Abang sudah menemukan sebidang tanah yang subur,”
jawab sang Suami.
Mendengar jawaban suaminya, sang Istri merasa gembira. Ia
berharap dengan adanya pekerjaan baru tersebut kehidupan keluarga mereka akan
menjadi lebih baik suatu hari kelak.
“O iya, Bang! Kalau Adik boleh tahu, di mana letak lahan
itu?“ sang Istri kembali bertanya.
“Letaknya tidak jauh dari rumah kita,” jawab sang Suami.
“Syukurlah kalau begitu, Bang! Kita tidak perlu berjalan jauh
untuk mencapainya.
Lalu, kapan Abang akan memulai membuka lahan?“ tanya sang
Istri.
“Kalau tidak ada aral melintang, besok Abang akan
memulainya,” jawab sang Suami dengan penuh keyakinan.
Beberapa saat kemudian, hari sudah mulai gelap. Sang Istri
pun menyiapkan makan malam seadanya. Usai makan malam, keluarga miskin tersebut
beristirahat setelah hampir seharian bekerja.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali sang Suami berangkat ke
hutan sambil membawa parang dan cangkul. Sesampainya di tempat yang akan dijadikan
lahan perkebunan, tiba-tiba muncul sifat malasnya. Ia bukannya membabat hutan,
melainkan duduk termenung sambil memerhatikan pepohanan yang tumbuh besar dan
hijau di hadapannya. Sementara itu, istri dan anaknya sedang menunggu di rumah
dengan penuh harapan. Sang Istri mengharapkan agar suaminya segera membuka
lahan perkebunan.
“Anakku! Jika Ayahmu telah selesai membuka lahan perkebunan,
kita bisa membantunya menanam sayur-sayuran dan umbi-umbian di kebun,” ujar
sang Ibu kepada anaknya.
“Bolehkah aku ikut membantu, Ibu”“ tanya anaknya.
“Tentu, Anakku! Ayahmu pasti sangat senang jika kamu juga
ikut membantunya,” jawab sang Ibu sambil tersenyum.
Menjelang sore hari, sang Suami pulang dari hutan. Ia pun
disambut oleh istrinya dengan suguhan air minum. Setelah suaminya selesai minum
dan rasa capeknya hilang, sang Istri pun kembali menanyakan tentang hasil
pekerjaannya hari itu.
“Bagaimana hasilnya hari ini, Bang”“
“Belum selesai, Dik!” jawab sang Suami.
Keesokan harinya, sang Suami kembali ke hutan. Setiba di
sana, ia pun kembali hanya duduk termenung. Begitulah pekerjaannya setiap hari.
Begitupula jika ditanyai oleh istrinya tentang hasil pekerjaannya, ia selalu
menjawab “belum selesai”.
Oleh karena penasaran ingin melihat hasil pekerjaan suaminya,
suatu siang sang Istri menyusulnya ke hutan tempatnya bekerja. Sesampainya di
tempat itu, ia mendapati suaminya duduk termenung sambil bersandar di bawah
sebuah pohon. Alangkah kecewanya sang Istri, karena lahan perkebunan yang
diharapkannya tidak terwujud.
“Bang! Mana lahan perkebunan itu”“ tanya sang Istri.
Mendengar pertanyaan istrinya itu, sang Suami bukannya
menjawabnya. Akan tetapi, ia segera bangkit dari tempat duduknya, kemudian
langsung pulang dengan perasaan marah. Rupanya, ia merasa tersinggung karena
istrinya menyusul ke hutan. Mengetahui suaminya marah, sang Istri pun
mengikutinya dari belakang.
Sesampai di rumah, kemarahan sang Suami semakin memuncak. Ia
melampiaskan kemarahannya dengan membanting barang-barang yang ada di dalam
rumahnya. Sang Istri yang tidak menerima kelakuan suaminya itu langsung berlari
menuju ke hutan sambil menangis. Sesampainya di tengah hutan, ia langsung
menceburkan diri ke dalam sebuah telaga.
Sementara itu, sang Suami yang baru menyadari akibat dari
kelakuannya segera mengajak anaknya untuk menyusul istrinya ke tengah hutan.
“Ayo Anakku, kita susul Ibumu ke hutan!” ajak sang Ayah
sambil menarik tangan anaknya.
“Baik, Ayah!” jawab anaknya.
Sesampainya di tengah hutan, tidak jauh dari hadapan mereka
terlihatlah sang Istri berada di tengah telaga. Tubuhnya sedikit demi sedikit
menjelma menjadi pohon sagu. Melihat peristiwa itu, ayah dan anak itu pun
segera berlari mendekati telaga.
“Maafkan aku, Dik! Kembalilah!” teriak sang Suami.
“Ibu…, Ibu…. Aku ikut!” teriak anaknya sambil menangis.
“Kamu di sini saja, Anakku! Tidak usah ikut ibumu, sebentar
lagi dia kembali,” bujuk sang Ayah.
“Tidak Ayah! Aku mau ikut Ibu,” kata anaknya meronta-ronta.
Sang Ayah terus berusaha membujuk anaknya agar berhenti
menangis. Namun, sang Anak tetap menangis dan bersikeras ingin ikut ibunya.
Saat sang Ayah lengah, si anak pun berlari dan terjun masuk ke dalam telaga.
Maka seketika itu pula, ia menjelma menjadi sebatang pohon sagu seperti ibunya.
Setelah melihat peristiwa itu, barulah sang Suami sadar dan menyesali semua
perbuatannya.
“Maafkan aku, Istriku! Maafkan aku, Anakku! Aku sangat
menyesal atas semua perbuatanku kepada kalian,” ucapnya sambil menangis
berderai air mata.
Berulang kali sang Suami meminta maaf kepada istri maupun
kepada anaknya. Namun, apa hendak dikata, nasi sudah menjadi bubur. Menyesal
kemudian tiadalah guna. Istri dan anaknya telah menjelma menjadi pohon sagu. Ia
pun tidak ingin hidup sendirian tanpa istri dan anaknya. Akhirnya, ia pun ikut
terjun ke dalam telaga itu. Ketika itu pula ia pun menjelma menjadi sebatang
pohon palem.
Sumber : https://www.reinha.com/2018/09/cerita-rakyat-sulawesi-tengah-asal-usul-pohon-sagu-dan-palem/
0 komentar:
Posting Komentar