Suatu hari, Desa Bulili kedatangan seorang raja dari Sigi.
Ketika sedang berjalan-jalan, sang raja berjumpa dengan seorang gadis cantik
asal Bulili. Raja Sigi pun kemudian meminang gadis cantik itu. Mereke menikah
dan tinggal di Bulili.
Berbulan-bulan sudah Raja Sigi tinggal di Desa Bulili.
Istrinya pun kemudian mengandung. Namun, ketika sang istri ingin dimanja dan
disayang oleh suaminya, Raja Sigi malah mengutarakan keinginannya untuk kembali
ke Sigi.
“Adinda, aku harus kembali ke Sigi. Sudah cukup lama aku
meninggalkan Sigi. Banyak urusan yang belum terselesaikan di sana,” ucap Raja
Sigi.
“Haruskah Kakanda pergi? Tidakkah Kakanda akan merasa
kehilanganku dan kehilangan anak kita?” bujuk istrinya. “Rakyat Sigi
membutuhkanku, Dinda. Aku harap Dinda bisa mengerti,” kata Raja Sigi lagi.
“Aku dan anak dalam kandunganku ini juga membutuhkanmu,
Kanda. Apakah Kanda tidak ingin menyaksikan anak kita ini lahir ke dunia?”
tanya sang istri.
Keesokan harinya, Raja Sigi kembali ke negerinya. Istrinya
tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tidak mampu menahan suaminya agar tidak pergi.
Tinggallah ia di Bulili tanpa suami. Namun, ia tidak seorang diri, beberapa
kerabatnya tinggal tak jauh dari rumahnya. Tetangga dan sahabat-sahabatnya
dengan senang hati menemaninya siang dan malam.
Bulan demi bulan ia lalui. Tanpa terasa, tibalah waktu untuk
melahirkan buah hatinya. Tanpa ditemani sang suami, ia melahirkan seorang bayi
yang lucu dan sehat. Semua warga Bulili ikut berbahagia menyambut kehadiran
makhluk mungil itu sebagai warga baru mereka. Para pemuka desa pun mengutus dua
orang tadulako yang gagah pergi ke Sigi untuk menemui Raja Sigi. Berangkatlah Makeku
dan Bantili ke Sigi mengemban tugas yang diberikan pada mereka.
Sesampainya di sana, mereka langsung menemui sang raja. Namun
sayangnya, bukan keramahan yang mereka dapatkan, tapi justru ucapan tidak
bersahabat yang keluar dari Raja Sigi. “Apa maksud kalian datang ke istanaku?”
tanya Raja Sigi dengan sinis.
“Maaf, Baginda. Kami diutus untuk meminta padi di lumbung
Sigi. Padi itu untuk anak Baginda yang baru saja lahir,” jawab Bantili.
Mendengar berita itu, Raja Sigi bukannya merasa senang,
tetapi malah melecehkan kedua tadulako sakti itu. “Baiklah. Jika kalian
menginginkan lumbung padi milikku, coba kalian angkat dan bawalah lumbung padi
itu. Cukup kalian tahu, dengan puluhan orang saja baru bisa menggeser lumbung
itu,” ucap Raja Sigi dengan angkuh. Ia pikir kedua tadulako pasti tidak akan
sanggup membawa lumbung itu.
Merasa diremehkan, Makeku dan Bantili segera pergi menuju ke
arah lumbung padi Raja Sigi. Dengan kesaktiannya, Bantili mampu mengangkat
lumbung padi yang besar itu, sedangkan Makeku mengawal Bantili dari belakang.
“Para pengawal, cepat tangkap orang-orang Bulili itu!” teriak
Raja Sigi.
Dengan sigap, para pengawal mengejar Makeku dan Bantili.
Meskipun tenaga telah dikerahkan, mereka tetap tidak mampu mengejar kedua
tadulako dari Bulili itu. Sampai akhirnya, tibalah Makeku dan Bantili di sebuah
sungai yang sangat besar dan dalam. Para pengawal tampak senang, mereka mengira
kedua tadulako itu pasti akan menyerah. Namun, ternyata dugaan mereka meleset,
kedua tadulako sakti itu berhasil menyeberangi sungai dengan mudah. Meskipun
Bantili membawa lumbung padi yang sangat besar, bukanlah hal yang sulit baginya
untuk menyeberangi sungai. Para pengawal kerajaan yang menyaksikan hal itu
hanya bisa terperangah. Mereka tidak mampu menyebarangi sungai yang lebar dan
dalam seperti yang dilakukan tadulako sakti.
Dengan kesaktiannya itu, Makeku dan Bantili bisa lolos dari kejaran
para pengawal Raja Sigi. Mereka pun melanjutkan perjalan pulang dan akhirnya
sampai kembali ke Desa Bulili dengan selamat. Sedangkan Raja Sigi menderita
kerugian yang besar, karena lumbung padi kerajaannya telah dibawa ke Bulili.
Pesan moral:
Tepatilah janji yang sudah diucapkan. Selain itu, janganlah
menjadi pemimpin yang angkuh dan sombong.
Sumber : https://www.daerahkita.com/artikel/48/kisah-tiga-tadulako-asal-bulili-cerita-rakyat-sulawesi-tengah
0 komentar:
Posting Komentar