Tanduk Alam adalah seorang pemuka agama Islam dari Negeri
Palembang, Sumatra Selatan yang mengembara hingga ke Negeri Banggai, Sulawesi
Tengah, Indonesia. Suatu ketika, Raja Negeri Banggai meminta bantuannya untuk
menyelamatkan putrinya yang diculik dan ditawan oleh orang Tobelo di Pulau
Sagu.
Alkisah, pada zaman dahulu kala, ada seorang pemuka agama
Islam dari Negeri Palembang, Sumatra Selatan yang bernama Hasan Tanduk Alam
atau lebih dikenal dengan Tanduk Alam saja. Suatu ketika, ia mengembara ke
Negeri Banggai untuk berdagang dan menyebarkan agama Islam. Namun sebelum tiba
di Negeri Banggai, ia singgah dan menetap di Tanah Sea-Sea.
Ketika pertama kali tinggal di Tanah Sea-Sea, Tanduk Alam
bekerja sebagai tukang emas dan membuat berbagai macam perhiasan. Mula-mula ia
menjual hasil kerajinannya ke desa-desa sambil mengajarkan agama Islam kepada penduduk,
sehingga ia tidak hanya dikenal sebagai tukang emas, tetapi juga sebagai ulama.
Makin lama, Tanduk Alam pun tidak hanya dikenal di kalangan penduduk, tetapi
juga di kalangan istana Negeri Banggai. Negeri tersebut dipimpin oleh Raja Adi
Cokro dan dibantu oleh empat orang basalo atau pembantu raja.
Pada suatu hari, kalangan istana dan seluruh rakyat Negeri
Banggai gempar, karena putri Raja Adi Cokro tiba-tiba hilang. Sang Raja pun
segera memerintahkan kepada seluruh bala tentara dan rakyat untuk mencari
putrinya. Namun, setelah mencari ke seluruh penjuru Negeri Banggai, mereka
tidak menemukan sang Putri. Mereka hanya mendengar kabar bahwa putri Raja
diculik dan disembunyikan oleh orang-orang Tobelo di Pulau Sagu atas perintah
Raja Ternate yang ingin menguasai Kerajaan Banggai.
Mendengar kabar itu, Raja Adi Cokro
segera memanggil keempat basalonya untuk mengadakan perundingan.
“Wahai, para Basalo! Tentu kalian sudah mendengar berita
tentang keberadaan putriku. Untuk itu, aku perintahkan kalian ke Pulau Sagu
untuk membebaskannya!” perintah Raja Adi Cokro
Keempat basalo tersebut segera berangkat ke Pulau Sagu
bersama sejumlah prajurit istana.
Sesampainya di sana, mereka segera menyerang orang-orang
Tobelo. Namun mereka gagal membebaskan, karena jumlah pasukan orang-orang
Tobelo yang ada di Pulau Sagu jauh lebih besar. Keempat basalo dan sejumlah
prajurit istana yang masih tersisa kembali ke Negeri Banggai untuk menghadap
Raja Adi Cokro.
“Ampun beribu ampun, Baginda! Kami gagal membawa pulang Tuan
Putri. Jumlah pasukan musuh di Pulau Sagu terlalu banyak. Kami tidak mampu
melawan mereka,” lapor seorang basalo.
Mendengar laporan itu, Raja Adi Cokro hanya terdiam. Ia
sangat mencemaskan nasib putrinya yang ditawan di Pulau Sagu. Beberapa saat
kemudian, ia bangkit dari singgasananya, lalu berjalan mondar-mandir sambil
memikirkan cara untuk membebaskan putrinya. Suasana di ruang itu pun menjadi
hening. Di tengah keheningan tersebut, salah seorang basalo dari Tano
Bonunungan angkat bicara.
“Ampun, Baginda! Hamba punya usul, bagaimana kalau
permasalahan ini kita bicarakan dengan Tanduk Alam. Barangkali dia bisa
membantu kita untuk membebaskan sang Putri,” sahut basalo dari Tano Bonunungan
itu.
“Hmmm…, benar juga katamu. Kalau begitu, panggil Tanduk Alam
untuk segera menghadap kepadaku!” perintah sang Raja.
“Baik, Baginda! Perintah Baginda hamba laksanakan,” ucap
keempat basalo tersebut serentak.
Keempat basalo tersebut segera berangkat ke Tanah Sea-Sea
untuk memanggil Tanduk Alam. Beberapa lama kemudian, Tanduk Alam pun datang
menghadap Raja dengan mengenakan pakaian kebesarannya.
Ampun, Baginda! Ada apa gerangan Baginda memanggil hamba
menghadap?” tanya Tanduk Alam.
“Wahai, Tanduk Alam! Tentu kamu sudah mengetahui bahwa putri
kesayanganku diculik dan disembunyikan oleh orang-orang Tobelo di Pulau Sagu,”
kata Raja Adi Cokro.
“Ampun, Baginda! Hamba hanya mendengar kabar tersebut. Tapi
benarkah putri Baginda disembunyikan di Pulau Sagu?” Tanduk Alam kembali
bertanya.
“Benar, Tanduk Alam! Aku telah memerintahkan para pasukanku
ke Pulau Sagu, namun mereka gagal membawa pulang putriku. Bersediakah kamu
membantu prajuritku pergi ke pulau itu untuk membebaskan putriku?” pinta Raja
Adi Cokro.
“Baik, Baginda! Tapi hamba mempunyai satu permintaan,” jawab
Tanduk Alam.
“Apakah itu, Tanduk Alam?” tanya Raja Adi Cokro.
“Hamba bersedia membantu membebaskan putri Tuanku, tapi hamba
tidak perlu didampingi oleh pasukan dengan jumlah besar untuk menghindari
jatuhnya banyak korban,” jawab Tanduk Alam.
“Baiklah, jika itu yang kamu inginkan. Kamu hanya akan
didampingi oleh keempat basaloku,” kata Raja Adi Cokro.
Keesokan harinya, Tanduk Alam bersama keempat basalo tersebut
berangkat ke Pulau Sagu dengan menggunakan perahu layar. Dalam perjalanan
menuju Pulau Sagu, mereka pun mengatur siasat.
“Wahai, Basalo! Sesampainya di Pulau Sagu, kita segera
mencari tempat disembunyikannya sang Putri. Tapi, ingat! Kalian harus tetap
tenang,” ujar Tanduk Alam.
“Tapi, bagaimana caranya masuk ke tempat itu, Tuan? Palau
Sagu telah dikuasai oleh orang-orang Tobelo. Tempat disembunyikan sang Putri
pasti dijaga ketat,” sahut seorang basalo.
“Kalau begitu, biar aku saja yang masuk ke pulau itu mencari
tempat di mana tuan Putri disembunyikan. Kalian tunggu saja di perahu!” ujar
Tanduk Alam.
“Apakah tidak berbahaya jika Tuan
sendiri yang masuk ke sana?” tanya seorang basalo yang lain.
“Kalian tenang saja! Insya Allah aku bisa mengatasi
semuanya,” jawab Tanduk Alam dengan penuh keyakinan.
Pada saat tengah malam, mereka pun sampai di Pulau Sagu.
Tanduk Alam pun segera naik ke pulau itu. Saat menginjakkan kaki di Pulau Sagu,
Tanduk Alam segera duduk bersila sambil berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba ia menghilang. Betapa terkejutnya keempat
basalo tersebut menyaksikan peristiwa itu dari atas perahu layar. Mereka takjub
melihat kesaktian yang dimiliki oleh Tanduk Alam.
Sementara keempat basalo tersebut menunggu di perahu layar
sambil berjaga-jaga dari serangan musuh, Tanduk Alam telah menyelinap masuk ke
tempat disembunyikannya putri Raja tanpa sepengetahuan orang-orang Tobelo yang
sedang berjaga-jaga. Sesampainya di tempat itu, ia melihat sang Putri dikurung
di dalam sebuah ruangan. Sementara orang-orang Tobelo yang bertugas menjaga
ruangan itu sedang tertidur lelap. Tanduk Alam pun segera membuka pintu ruangan
itu secara perlahan-lahan, lalu mendekati sang Putri yang juga sedang tertidur
dan segera membangunkannya.
Alangkah terkejutnya sang Putri saat ia terbangun dan melihat
seorang pemuda berjubah di dekatnya.
“Tenang, Tuan Putri! Aku diutus oleh Ayahandamu untuk
membebaskanmu dari tempat ini,” kata Tanduk Alam dengan suara pelan.
“Benarkah itu, Tuan?” tanya sang Putri.
“Benar, Tuan Putri! Aku kemari bersama keempat basalo
Ayahandamu. Mereka sedang menunggu di perahu,” jawab Tanduk Alam.
“Ayo, Tuan Putri! Kita pergi dari tempat ini,” ajak Tanduk
Alam.
“Bagaimana caranya, Tuan? Bukankah tempat ini dijaga oleh
orang-orang Tobelo?” tanya sang Putri bingung.
“Duduklah dan pejamkan matamu, Tuan Putri! Kita akan keluar
dari sini tanpa sepengetahuan orang-orang Tobelo itu,” ujar Tanduk Alam.
Sang Putri pun menuruti perkataan Tanduk Alam. Saat sang
Putri memejamkan matanya, Tanduk Alam memegang kedua tangan sang Putri sambil
membaca doa. Sesaat kemudian, keduanya pun menghilang dari ruangan itu. Tidak
berapa lama kemudian, tiba-tiba mereka berada di atas perahu. Betapa
terkejutnya keempat basalo tersebut saat melihat Tanduk Alam dan sang Putri
tiba-tiba muncul di samping mereka.
“Ayo, Basalo! Lepaskan tali tambatan dan bentangkan layar dan
kita segera meninggalkan tempat ini!” seru Tanduk Alam.
Keempat basalo itu segera melaksanakan perintah Tanduk Alam.
Keesokan harinya, saat matahari mulai terbit di ufuk timur, mereka tiba di
Negeri Banggai dan segera membawa sang Putri ke istana.
Kedatangan mereka pun disambut meriah oleh keluarga istana dan
seluruh rakyat Negeri Banggai. Raja Adi Cokro sangat kagum atas keberhasilan
Tanduk Alam membawa pulang putri kesayangannya. Raja Adi Cokro pun mengakui dan
memuji kemampuan dan kesaktian Tanduk Alam.
“Terima kasih, Tanduk Alam! Hadiah apa yang kamu inginkan
dariku?” tanya Raja Adi Cokro.
“Sekiranya Baginda tidak keberatan, hamba minta sebidang
tanah kosong dan rawa-rawa untuk hamba tanami durian dan sagu,” jawab Tanduk
Alam.
“Permintaanmu akan aku kabulkan, Tanduk Alam!” jawab Raja Adi
Cokro.
“Terima kasih, Baginda Raja! Semoga hasilnya di kemudian hari
tidak hanya bermanfaat bagi hamba, tetapi juga untuk kesejahteraan rakyat
negeri ini,” ucap Tanduk Alam.
Raja Adi Cokro pun semakin kagum terhadap kemuliaan hati
Tanduk Alam. Ia pun segera memerintahkan para pengawal istana untuk membuka
lahan perkebunan dan membersihkan rawa-rawa. Setelah semuanya selesai, Tanduk
Alam pun memulai menanam durian di lahan perkebunan dan sagu di rawa-rawa.
Beberapa tahun kemudian, Tanduk Alam memperolah hasil yang
melimpah ruah. Hidupnya pun semakin sejahtera. Melihat keberhasilannya itu,
Tanduk Alam senantiasa mengajak penduduk di sekitarnya untuk membuka lahan dan
menanam durian dan sagu. Penduduk sekitar pun berbondong-bondong mengikuti
jejak Tanduk Alam. Alhasil, hidup mereka pun ikut sejahtera.
Sejak itu, Tanduk Alam semakin disukai oleh masyarakat
Banggai. Dengan demikian, ia dapat menyiarkan agama Islam di daerah Banggai
dengan mudah. Apalagi setelah Tanduk Alam menikah dengan Putri Basalo Tano
Bonunungan, ia semakin mudah melaksanakan tugasnya. Dalam waktu singkat,
pemeluk agama Islam di Negeri Banggai, khususnya di Tanah Sea-Sea dan Tano
Bonunungan semakin bertambah.
Begitulah penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Tanduk
Alam di Negeri Banggai sampai ia meninggal dunia. Untuk menghargai jasa-jasa
Tanduk Alam terhadap Negeri Banggai, masyarakat setempat mengubur jazadnya di
belakang istana Kerajaan Banggai.
0 komentar:
Posting Komentar