Masa SMA

SMA Negeri 2 Palu

Masa SMA

Domo nitoraku isema pura ri foto.

Naroa-roa

Bara danatuvupa pura toa hi.

Kenangan

Kenangan yang pantas untuk dikenang ...

Papa Iki

Moh. Nawir Tembandjobu.

Selasa, 14 Desember 2021

SEJARAH DESA KALUKUBULA

 



Pada zaman dahulu ada seorang pemburu, ia mengejar buruannya yang diduga sudah pergi menuju sebuah bukit disebelah timur, yaitu bukit Silonga, karena sudah lama dan sudah jauh ia mengejar, akhirnya pemburu itu tidak mau lagi meneruskan pengejarannya. Ia menyuruh orang Silonga untuk mengejar binatang buruannya itu.

         Ada dua orang Silonga jagoan yang bersedia mengejar buruan tadi, seorang diantaranya bernama Lanoa, melalui hutan belantara namun keduanya tidak pernah merasa lelah. Tidak akan puas rasanya kalau mereka tidak menemukan binatang buruan itu. Dengan tidak disangka-sangka mereka tiba pada sebuah padang belantara, disitulah mereka sempat melihat jejak binatang buruan, lalu pengejaran dilanjutkan terus. Setelah Lanoa, dari jarak jauh melihat binatang buruan itu sedang beristirahat dibawah pohon kayu, lalu disiapkannya tombaknya, sekali tombak saja robohlah binatang buruan itu.

          Binatang buruan itu mereka bawa kesuatu tempat dibawah sebatang pohon kayu besar yang sangat tinggi, Lanoa asyik memperhatikan pohon yang tinggi itu, ia melihat dibawah pohon itu banyak sekali tumbuh kayu-kayu kecil yang hampir serupa dengan pohon itu. “Apa namanya pohon ini ?” Tanya Lanoa , “Saya tidak tahu, “ jawab temannya. Mereka merasa heran sekali melihat jenis kayu itu. Lanoa ingin memakan buahnya tetapi ia takut jangan –jangan membahayakan, namun demikian ia mencoba meminum airnya. Rasanya enak, air buah itulah yang menjadi air minumnya, karena belum puas mereka mencoba pulah memakan dagingnya yang putih warnanya, akhirnya Lanoa menamakan buah itu “ Kalukubula “.

          Karena tertarik akan tempat itu, maka kedua orang itu tidak mau lagi pulang ke kampungnya di Silonga. Di lembah yang sangat luas yang mereka namakan “ Kalukubula “ itu, mereka mulai membuka kebun. Sisa bekal dari Silonga berupa setongkol jagung, mereka tanam dikebun yang baru dibuat itu.

          Dari jauh disebelah timur, yaitu orang Lando melihat asap api mengepul di lembah itu, seorang diantaranya bernama Ravulando berkata : “Coba lihat disebelah barat dilembah itu, ada asap api, tentu ada orang disana.” Jawab temannya : “Saya kira benar apa yang kau katakan itu.” Karena mereka yakin maka kedua orang Lando itu segera berangkat menuju lembah sumber asap api itu. Setibanya disana, Lanoa terkejut sambil bertanya : “Siapa gerangan kalian ini.” Jawab orang itu :”Kami berasal dari Lando.” Lanoa menjelaskan bahwa mereka datang ditempat itu karena mengejar babi buruan orang Pakuli. Dikatakannya bahwa pemburu itu tidak mampu lagi mengejar buruannya karena sudah lelah. Lanoa menambahkan bahwa buruan orang Pakuli itu datang di Silonga lalu dikejar terus oleh Lanoa dan temannya sampai di lembah itu sehingga terbunuh dan dagingnya telah dimakan pula oleh Lanoa dan temannya.

          Kemudian orang Tara dari sebelah utara, seorang diantaranya bernama Tadabia, dan kemudian orang Pulu dari sebelah barat, seorang diantaranya bernama Torivatu,  kedatangan mereka karena alasan yang sama disebabkan karena melihat asap api mengepul di lembah itu. Jadi ada 8 orang penghuni lembah “Kalukubula” yaitu yang berasal dari Silonga, Lando, Tara dan Pulu. Mereka mulai membuka tanah kebun dan ladang. Karena orang Silonga yang pertama datang ditempat itu lagipula dianggap sebagai penghuni pertama, maka telah disepakati bersama bahwa merekalah yang menentukan luas tanah yang akan dikerjakan oleh setiap orang. Jadi Lanoa dan seorang lagi temannya itu yang berhak menentukan luas tanah yang akan dibuat kebun atau ladang.

          Lama kelamaan berdatanganlah orang-orang dari tempat yang jauh sehingga lembah itu menjadi padat penduduknya. Setiap penghuni yang baru datang diharuskan memberitahukan pada orang Silonga, orang Silonga itulah yang akan menunjukan tempat atau tanah di sebelah mana yang akan mereka kerjakan sebagai kebun. Dengan demikian setiap orang tidak bebas memilih tanah yang akan dibuat kebun.

 

Nama “ Kalukubula “ diambil dari bahasa Ledo / Kaili, Kaluku berarti Kelapa dan Bula berarti Putih. Jadi “ Kalukubula” artinya Kelapa Putih.


Sember : https://kalukubula.desa.id/index.php/artikel/2020/7/9/sejarah-desa-kalukubula

KEKAYAAN FLORA & FAUNA SULAWESI TENGAH

 

TAMAN NASIONAL LORE LINDU - KEKAYAAN FLORA & FAUNA SULAWESI TENGAH
Hits: 19280

Berencana untuk berlibur sekaligus menambah pengetahuan anda tentang sejarah dan alam Sulawesi Tengah? Berkunjung ke Taman Nasional adalah pilihan yang tepat untuk mendapatkan keduanya. Saat ini, Sulawesi Tengah telah memiliki dua Taman Nasional yaitu Taman Nasional Lore Lindu (TMLL) dan Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT).

Khusus untuk anda yang ingin berkunjung ke Taman Nasional Lore Lindu, artikel ini akan membahas secara mendalam tentang lokasi tersebut serta apa saja yang perlu anda ketahui sebelum mengunjungi Taman Nasional Lore Lindu nantinya. So, Let’s check it out!

Dimana Lokasi Taman Nasional Lore Lindu?

Secara administratif, Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) terletak di dua Kabupaten yakni Kabupaten Sigi dan Kabupaten Poso. Di bagian utara, TNLL berbatasan dengan Dataran Lembah Palu dan Dataran Lembah Palolo, kemudian sebelah timur berbatasan dengan Dataran Lembah Napu, lalu sebelah selatan dengan Dataran Lembah Bada, serta sebelah barat dengan Sungai Lariang dan Dataran Lembah Kulawi. Saat ini luas Kawasan TNLL sekitar 217.991,18 Ha dan berada di 199˚ 58’ – 120˚ 16’ Bujur Timur dan 1˚ 8’ – 1˚ 3’ Lintang Selatan. Di wilayah Sulawesi Tengah sendiri, Taman Nasional Lore Lindu merupakan salah satu Taman Nasional dengan daya tarik dan kekayaan alam yang luar biasa yang telah di tetapkan sebagai cagar biosfer sejak tahun 1977 oleh UNESCO.

Keanekaragaman Flora dan Fauna

Sebagai kawasan pelestarian alam, TNLL memiliki berbagal potensi seperti tipe ekosistem yang beragam dari ekosistem hutan hujan dataran rendah sampai tipe ekosistem hutan pegunungan atas, ekosistem rawa, savana dan ekosistem sungai/dataran banjir. Jenis flora dan fauna yang terdapat di dalam TNLL sangat beraneka ragam. Terdapat setidaknya 5 jenis kantong semar yang merupakan spesies endemik dan kaya akan jenis jamur, lumut serta paku-pakuan.

Taman Nasional Lore Lindu juga menjadi rumah bagi habitat mamalia asli terbesar di Sulawesi yaitu Anoa, Rusa, Tarsius (Tarsius pumilus)(Tarsius dentatus) dan (Tarsius lariensis) serta Kera Hitam Sulawesi (Macaca tonkeana). Satwa lainnya seperti Maleo (Macrocephalon maleo), Rangkong (Rhyticeros cassidix), dan Elang Sulawesi (Spizaetus lanceolatus), kupu-kupu juga banyak ditemukan dan sebagian telah dibudidaya.

Taman Nasional Lore Lindu menyimpan sekitar 267 jenis burung di Sulawesi yang 97 jenis di antaranya merupakan spesies endemik. Secara Internasional, kawasan ini di kenal sebagai kawasan suaka burung yang penting. Beberapa jenis burung endemik yang dapat di temukan di kawasan ini antara lain ; Nuri Sulawesi (Tanygnatus sumatrana), Loriculus exilis, Trichologsus platurus, Kakatua (Cacatua suiphurea), Rangkong (Rhyticerros cassidix), Pecuk Ular (Anhinga rufa), Rallus Plateni, Maleo (Macrochepalon maleo) dan Megapodius fecycynet dll. Beberapa titik yang biasa di gunakan untuk melakukan bird watching di antaranya Desa Kulawi, Anaso – Danau Tambing, Pakuli, Danau Lindu dan Lembah Napu.

 

Wisata Megalith

Taman Nasional Lore Lindu memiliki banyak situs tempat peninggalan dari jaman prasejarah baik di dalam kawasan maupun di sekitarnya. Megalit merupakan batu besar peninggalan masa prasejarah. Situs megalit yang ada di TNLL dan sekitarnya terdiri dari banyak bentuk dan ukuran. Bentuk dari megalit bervariasi dari yang berupa arca menhir, kalamba, tutup kalamba, batu dakon, batu gores, lumpang batu, serta dolmen.

Situs Megalith TNLL tersebar di sekitar daerah sekitara Napu, Besoa dan Bada. Di perkirakan batu-batu tersebut telah ada sejak 3000 tahun sebelum masehi dengan tinggi rata-rata 1.5 – 2.5 Meter sampai 4 meter. Terdapat lima klasifikasi patung-patung tersebut berdasarkan bentuknya :

Patung-patung Batu ; memiliki ciri-ciri manusia, tetapi hanya kepala, bahu dan kelamin yang terlihat jelas.

Kalamba ; menyerupai jambangan besar, jenis yang paling banyak di jumpai.

Tutu’na ; piring-piringan dari batu, kemungkinan besar merupakan tutup kalamba.

Batu Dakon ; batu-batu rata sampai cembung, menggambarkan saluran-saluran, lubang-lubang tidak teratur dan lekukan lekukan lain.

Lain – lain ; Mortar batu, tiang penyanga rumah dan bentuk penyangga lain di temukan.

Salah satunya Megalith Tadulako yang dapat dijangkau dalam waktu 5 menit dari pusat Desa Doda dengan koordinat S 01˚42'37.2"/ E 120˚15'16.0". Lokasi megalitik terletak 1 km dari jalan utama menuju Desa Doda dengan kondisi jalan pengerasan sirtu dan melalui jembatan yang kondisinya masih rusak. Luas area yang tersedia 1 ha dengan kondisi lokasi terbagi menjadi 3 kelompok megalitik. Jenis megalitik yang ada adalah arca dan kalamba. Menurut informasi dari Kepala Desa Doda, megalitik ini lebih tua dari Megalitik di Meksiko. Berdasarkan wawancara dengan Petugas Pemelihara didapatkan bahwa saat ini presentase pengunjung lokal 80% dan asing 20% dengan rata-rata 30 orang per bulan. 

Lokasi lainnya untuk melihat situs Megalith adalah Lembah Besoa  dengan landscape yang sangat indah dan pemukiman penduduk yang di kelilingi oleh sawah, savana alam dan hutan yang lebat. Lebah Behoa dapat berjarak sekitar 157 KM dari Kota Palu atau sekitar 4 – 5 jam perjalanan. Kondisi jalan cukup bagus sampai Lembah Napu, sedangkan kondisi jalan dari lembah Napu sampai dengan Lembah Behoa banyak yang rusak dan sempit namun masih bisa di lalui dengan kendaraan roda empat. Dari desa ke situs megalith yang tersebar, ada yang bisa di tempuh dengan kendaraan dan ada yang harus dengan berjalan kaki, namun letaknya tidak terlalu jauh dari desa. Selain itu, terdapat dua buah penginapan di Desa Doda, bagi pengunjung yang ingin bermalam di Lembah Besoa. Terdapat beberapa petunjuk arah serta papan informasi di beberapa situs megalith yang tersebar di Lembah Besoa.

Situs Pokekea yang ada di Desa Besoa dipenuhi batu-batu besar berbentuk tong. Semuanya tersebar di padang rumput. Beberapa batu-batu besar tersebut dihiasi dengan berbagai macam relief. Masyarakat setempat menyebut tong batu itu dengan nama kalamba, sedangkan tutupnya disebut tuatena. Kalamba yang berbentuk silinder dengan bagian dalamnya di lubangi menyerupai  tong besar dengan ukuran tinggi bervariasi 1,5-2,7 meter, dengan diameter 1-1,8 meter diyakini memiliki dua fungsi. Fungsi pertama di ceritakan sebagai penampungan air, dan yang kedua sebagai kuburan. Sebagian besar Kalamba yang terdapat di situs Pokekea memiliki ciri khas di bagian badannya, berupa garis geometris dan relief wajah manusia. Kalamba-kalamba tersebut berbentuk bulat silindrik, dan pada bagian tengahnya terdapat lubang. Kalamba yang berada di sini mempunyai ukuran yang berbeda-beda, dengan ukuran terbesar mempunyai ukuran tinggi 188 cm, diameter tubuh 223 cm, kedalaman lubang 78 cm dan tebal bibir 22 cm. Untuk ukuran yang kecil memiliki tinggi 90 cm, diameter badan 76 cm, kedalaman lubang 62 cm dan tebal bibir 6 cm. 

 

Selain Kalamba, di Situs Pokekea juga terdapat patung batu yang mirip manusia. Patung manusia itu memiliki ukiran wajah yang khas. Ukiran wajah serupa tidak hanya ada di Pokekea, tetapi juga di berbagai situs megalitikum yang tersebar di sekitar Taman Nasional Lore Lindu. Masyarakat menyebut patung mirip manusia ini dengan sebutan patung suami-istri. Alasannya, tentu saja karena patungan itu berpasangan dan mirip sepasang suami-istri. Berdasar penelitian arkeologi, bebatuan megalith yang ada di Sulawesi Tengah diperkirakan  telah ada sejak 3.000 tahun SM dan yang termuda dibuat pada sekitar tahun 1300 SM. 

Juru pelihara situs Pokekea, Sunardi menyebut di situs ini terdapat 8 buah Kalamba, 4 buah arca megalith, 14 buah batu dokon, 18 buah batu kerakel, 5 buah dolmen, 5 buah altar batu, 2 buah batu tetralit, 1 buah batu bergores, dan 2 buah palung batu. Semuanya tersebar dalam satu komplek. Masih banyak misteri batu purbakala ini belum terpecahkan. Seperti batu yang digunakan sebagai kalender manusia purbakala. Sunardi mengaku belum ada arkeolog mampu menyikap makna goresan batu kalender itu. Bahkan disebutkan Pokekea merupakan cikal bakal atau nenek moyang suku yang ada di Sulawesi. Tidak ada ditemukan aksi vandalisme (mencoret/menggores) pada batu-batu, menurut Sunardi hal ini karena pihaknya tak hentinya mengingatkan pengunjung bagaimana sebaiknya berkunjung ke situs purbakala ini. 

Secara keseluruhan, situs-situs ini sungguh menakjubkan dan memiliki nilai sejarah yang tinggi di Indonesia bahkan di dunia karena situs ini menunjukkan bahwa masyarakat Sulawesi Tengah telah memiliki ilmu pengetahuan yang sudah sangat tinggi di jaman itu. Peneliti masih terus menggali informasi terkait situs ini karena untuk membuatnya memerlukan ‘teknologi’ tersendiri. Ada berbagai jenis batu yang di bentuk seperti patung manusia, tong dan berbagai macam bentuk yang menunjukkan peradaban yang luar biasa dan maju pada 3000 tahun SM merupakan suatu hal yang luar biasa karena masyarakat pra sejarah sudah bisa membuat pahatan rumit seperti itu.

Wisata Danau

 

Taman Nasional Lore Lindu juga memiliki wisata Danau yang indah dan penuh dengan kekayaan flora dan fauna seperti Danau Lindu dan Danau Tambing. Secara administratif, Danau Lindu terletak di kecamatan Lindu, Kabupaten Sigi terletak di ketinggian 1.000 mdpl dengan luas 3.470 H. Danau Lindu dapat di tempuh sekitar 4 jam dengan jarak sekitar 79 KM dari Kota Palu. Untuk mengunjungi lokasi ini dengan kendaraan roda empat, anda harus berhenti di area Sidaunta untuk melanjutkan perjalanan dengan kendaraan roda dua karena fasilitas jalan yang belum memadai. Meskipun begitu, terdapat fasilitas pendukung seperti Pondok Wisata, Penginapan, Shelter pengamatan Macaca tonekaka dan jalur trekking di sekitar area Danau Lindu. 

Panorama Danau Lindu masih sangat alami dengan air danau yang jernih serta pemandangan yang menyegarkan. Wisatawan bisa berperahu ataupun sekedar memancing di tepi danau atau menyewa perahu. Populasi ikan mujair cukup melimpah dan merupakan sumber pendapatan bagi nelayan di sekitar Danau Lindu. Di sekitar danau ini, wisatawan juga dapat mengamati beberapa burung endemik seperti Elang, Rangkong, Jalak Tunggir Merah, Nuri, Dri Gunting dan sebagainya.

Berikut adalah informasi mengenai aksesbilitas, fasilitas dan informasi lain terkait objek Danau Lindu: 

Aksesibilitas: Perjalanan menuju Danau Lindu dari Kota Palu dapat di tempuh dengan kendaraan roda 4 sampai ke Desa Sidaunta (1,5 jam) yang kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki atau dengan menggunakan kendaraan roda 2 (ojek). Perjalanan dari Desa Sidaunta ke Danau Lindu memerlukan waktu tempuh sekitar 6 jam jalan kaki atau 1 jam menggunakan kendaraan roda 2.

Akomodasi: Pondok wisata dan penginapan (fasilitas Dispar Sigi) masih kurang memadai. Fasilitas penginapan seperti kasur, lampu, perlengkapan toilet dan kondisi furniture masih kurang layak untuk di pakai. Keadaan tersebut membuat para pengunjung lebih memilih untuk menginap di rumah warga sekitar Danau Lindu.

Fasilitas: Bangunan Pusat Informasi milik Pemda telah tersedia seperti toilet, perahu katinting, dermaga dan pemandu lokal. Namun kondisi bangunan pusat informasi ini belum terurus dengan baik. Dermaga sebagai sarana berlabuh warga di sekitar Danau Lindu yang merupakan milik Dinas Perhubungan berada dalam kondisi baik. Geliat kehidupan ekonomi masyarakat di sekitar Danau Lindu pun terlihat di dermaga ini. 

Informasi tentang Danau Tambing dapat dilihat selengkapnya disini

Rumah Tambi 

Rumah Tambi terletak di pusat Desa Doda, tepat di Sebelah Utara lapangan Desa doda. Berdasarkan informasi dari Petugas Pemelihara, Rumah Tambi ini sudah berumur 200 tahun dan sudah mengalami perbaikan di berbagai sisinya. Rumah Tambi adalah Rumah Adat Suku Lore yang tersebar di daerah Lembah Bada, Lembah Behoa dan Lembah Napu. Awalnya pembuatan Rumah Tambi ini berada di hutan Sebelah Timur Desa Doda yang kemudian dipindahkan ke pusat Desa Doda. Rumah Tambi terdiri dari 2 bangunan utama, yaitu rumah dan lumbung padi. Keunikan pembangunan Rumah Tambi ini adalah konstruksinya selain tidak menggunakan paku serta tahan gempa. 

Dengan kekayaan alam serta sejarah yang di miliki oleh Taman Nasional Lore Lindu, lokasi ini patut menjadi salah satu destinasi wisata yang wajib untuk anda kunjungi jika sedang berada di Sulawesi Tengah. AA

Penulis: Arba Arief (Travel Blogger & Tour Guide Sulawesi Tengah)



Sumber : https://pesonawisata.sultengprov.go.id/index.php/en/sigi-dan-taman-nasional-lore-lindu/taman-nasional-lore-lindu-kekayaan-flora-fauna-sulawesi-tengah.html

SITTI MAROYA

 

  


Sebelum kita mengenal lebih jauh sosok perempuan bernama SITTI MAROYA, marilah kita mengenal lebih dahulu Dewi Sri. Sosok kedua tokoh ini adalah sama, namun hanya berbeda nama. Untuk di Tanah Kaili, Dewi Padi itu dikenal dengan nama SITTI MAROYA.


MENGENAL DEWI SRI DAN NYI RATU KIDUL 

          Fakta bahwa wilayah laut Indonesia adalah dua pertiga dari wilayah Indonesia secara keseluruhan, menjadikan Indonesia negara kepulauan terbesar di dunia, yang melahirkan keyakinan bahwa ada kekuatan lain yang mengendalikan lautan.

          Kehadiran cerita-cerita rakyat bukan hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai sebuah media pendidikan. Melalui cerita-cerita tersebut, generasi sebelumnya mengajarkan nilai-nilai yang datang dari realitas. Indonesia telah dikenal sebagai sebuah negara agraris dan maritim, sehingga kaya akan cerita-cerita berkaitan dengan kehidupan agrikultur dan lautan.

          Meminjam kata Nenola (1999) dalam buku yang berjudul “Gender, Culture and Folklore”, melalui cerita rakyat secara tidak langsung pembaca dari generasi ke generasi juga diajarkan mengenai konstruksi gender, maskulinitas, feminitas, dan peran gender. Cerita rakyat adalah salah satu karya literasi yang hidup begitu lama di tengah masyarakat di mana persebarannya dibawa dari mulut ke mulut.

          Mitos, sebagai salah satu dari tiga bentuk cerita rakyat yang mengajarkan kehidupan tuhan atau setengah tuhan dalam relasinya dengan manusia. Mitos mengisi sebuah peran penting dalam mengonstruksi cara pandang dan kesadaran masyarakat.

          Sehingga menjadi sangat wajar apabila masyarakat agraris Indonesia masih melestarikan tradisi pemujaan kepada Dewi Sri sebagai Dewi Padi dalam upacara simbolis mempersembahkan sesaji kepada Dewi Sri sebagai dewi kesuburan agar hasil panen baik dan melimpah. Begitupun juga dengan pemujaan terhadap Nyi Ratu Kidul sebagai penguasa lautan.

          Sejak era Paleolitik, jauh sebelum keberadaan Yudaisme, Kristen, Islam, Budha, dan Hindu sudah ada kepercayaan yang meyakini sang Dewi, yaitu, Dewa yang dibayangkan dalam karakter perempuan, sosok Dewi Sri dan Nyi Ratu Kidul bisa dianggap sebagai Dewa perempuan yang melegitimasi kekuatan, cinta, dan kemandirian perempuan. Mitos tersebut menunjukkan bahwa perempuan sejak zaman itu telah mendapatkan posisi tertinggi dan tidak terpinggirkan.

 

          Dua sosok perempuan tersebut merupakan contoh cerita rakyat yang telah diyakini dari generasi ke generasi memberikan gambaran tentang keberadaan pemimpin perempuan sebagai penjaga alam, menjaga keselarasan antara kehidupan manusia dan alam, dan menjamin kelangsungan kehidupan di bumi. Adalah Dewi Sri yang hadir sebagai Dewi Padi dan Kemakmuran. Sedangkan Nyi Ratu Kidul sebagai dewi yang menguasai lautan, melindungi dan mendukung kepemimpinan raja Mataram.

         Perempuan dan alam dalam masyarakat yang patriarkial selama ini dilihat sebagai objek yang layak untuk dieksploitasi. Ialah ekofeminisme yang dalam hal ini menjadi sebuah kerangka berpikir dalam melihat dua sosok perempuan ini. Ekofeminisme lahir sebagai sebuah gerakan sosial yang memiliki ideologi yang kuat dalam melawan eksploitasi perempuan dan alam, termasuk pertumbuhan ekonomi yang tidak memperhatikan keberlangsungan ekosistem. Ekofeminisme sendiri tidak hanya memahami relasi manusia dengan manusia lainnya, tetapi juga dunia selain manusia, seperti hewan dan tumbuhan.

          Dewi Sri dan Nyi Ratu Kidul sama-sama terlahir dari masyarakat agraris dan maritim. Dikenal sebagai Dewi Padi (Rice Goddess), Dewi Sri dianggap sebagai asal dari tumbuhnya ladang padi di Jawa. Sedangkan Nyi Ratu Kidul adalah seorang ratu dari kerajaan jinn yang mengontrol dan menguasai lautan. Melalui dua sosok perempuan sebagai pemain utama tersebut, perempuan juga menunjukkan perannya pembawa sumber makanan dan penjaga alam, khususnya lautan.

          Padi merupakan salah satu makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Sehingga tidak heran kebanyakan masyarakatnya bekerja sebagai petani, mengolah sawah dan menanam padi. Dalam Cariyos Dewi Sri yang disimpan di Museum Sonobudoyo, Dewi Sri merupakan makhluk yang berasal dari surga (kahyangan), turun ke bumi untuk membawa biji-biji padi sehingga manusia di bumi (Jawa) terbebas dari kurangnya bahan-bahan makanan. Perjuangan Dewi Sri juga ditunjukkan ketika ia harus melindungi biji-biji padi tersebut sebelum sampai pada orang yang tepat, mengingat tanaman padi akan selalu mendapat ancaman dari binatang-binatang yang tidak diinginkan (hama).

 

Ekofeminisme Spiritualisme

          Keberadaan perempuan sebagai penjaga alam dalam mitos Dewi Sri dan Nyi Ratu Kidul menunjukkan bahwa perempuan diyakini sebagai sumber kehidupan. Perempuan sebagai ibu kehidupan, Ibu Pertiwi. Dewi Sri sebagai sumber kemakmuran ada di sini untuk memberikan kehidupan melalui biji-biji makanan pokok dalam bentuk beras yang ia bawa dari surga, mengajarkan cara menanam, dan merawatnya, bahkan mengajarkan cara menghindari hama yang mengancamnya.

          Mitos Dewi Sri sebagai makhluk dari surga bukan manusia ini sesuai dengan ideologi ekofeminisme spiritual, yang menarik analogi antara peran perempuan dalam produksi biologis dan peran pola dasar sebagai pemberi kehidupan dan pencipta segala sesuatu yang ada.

          Sedangkan Nyi Ratu Kidul sebagai penguasa samudera menunjukkan bahwa sosok ibu sebagai pemberi cinta dan kehidupan yang ada di lautan. Tanpa bantuan Nyi Ratu Kidul, Panembahan Senapati tidak akan bisa menjadi raja Mataram. Selama tiga hari tiga malam, tinggal di istana Nyi Ratu Kidul, Senapati mendapat pelajaran dari Nyi Ratu Kidul tentang bagaimana menjadi raja yang memimpin manusia dan selain manusia (jin, dan peri).

          Dari motif ini, dapat dipahami bahwa salah satu sumber kekuatan seorang raja (pemimpin) adalah perempuan yang menyatu dengan alam. Untuk mencapai kekuatannya, maskulinitasnya sebagai seorang raja, membutuhkan bantuan dan dukungan dari feminitas. Sebab, sumber pengetahuan dan kekuasaan pada dasarnya adalah feminitas yang dilambangkan oleh sosok Nyi Ratu Kidul, penguasa lautan. (K-MR)



Sumber : https://indonesia.go.id/ragam/budaya/sosial/mengenal-dewi-sri-dan-nyi-ratu-kidul-simbol-perempuan-penjaga-alam

Senin, 13 Desember 2021

Noraga Bantiluku

 

Tesa Toporaga Bantiluku


Gane-Gane Mangge

 



Gane-Gane Mangge

Bohongnya Seorang Pemimpi



Pemimpi itu bukanlah Pemimpin.

Tidak Ada Kebohongan Yang Dibenarkan

 


Tidak Ada Kebohongan Yang Dibenarkan

Jangan Buka Aib Orang Sudah Meninggal

 Jangan Buka Aib Orang Sudah Meninggal




Duo Sale

 Duo Sale

Duo sale
Image Credit: Zonamakan.com

Berikutnya ada makanan berjenis sambal. Mungkin sebagian orang akan menganggap makan ini adalah sambal teri atau sambal goreng. Memang terdapat sedikit kemiripan di antara duo sale dan sambal teri atau sambal goreng, yaitu sama-sama mengambil ikan teri sebagai bahan tambahan untuk menawarkan rasa pedas yang berbeda. Namun, kedua makanan ini sebenarnya berbeda.

Lalampa

 

Lalampa

Lalampa
Image Credit: Twitter.com @diyyah_ade

Makanan khas berikutnya adalah lalampa, memiliki bentuk seperti lemper. Namun, isi dari lalampa berbeda jauh dari lemper. Lalampa adalah makanan yang berisi beras ketan, santan, beberapa bumbu khas, dan ikan cakalang yang menjadi bahan utama dari makanan ini. Semua bahan tersebut dibungkus kedalam daun pisang hingga berbentuk lonjong lalu dibakar.

Cara masak lalampa adalah dengan dibakar. Setelah dibungkus menggunakan daun pisang kemudian akan dibakar. Makanan ini memiliki aroma khas dari ikan cakalang yang menjadi salah satu bahannya. Rasa yang dihasilkan pun berbeda dengan makanan yang dimasak dengan cara dikukus.

Uta Kelo

 

Uta Kelo

Uta Kelo
Image Credit: Twitter.com @astrahondacare

Dari namanya akan membuat para pembaca mengingat dengan salah satu masakan yang bernama hampir sama yaitu uta dada. Kedua makanan ini terbilang mirip karena menggunakan santan sebagai salah satu bahan utamanya. Itulah kenapa membuat kedua makanan ini memiliki cara penyajian yang hampir sama, namun bahan di dalam kedua makanan ini berbeda.

Uta kelo atau yang memiliki arti sayur daun kelor atau merunggai dibuat dengan cara disantan lalu masukan beberapa potongan ikan, dan potongan pisang kepok sebagai pelengkapnya. Rasa yang disajikan terbilang unik sehingga membuat para wisatawan yang mencobanya merasa kurang puas jika hanya menghabiskan 1 porsi saja..

Palumara

 

Palumara

Palumara
Image Credit: Twitter.com @yoexplore

Palumara merupakan salah satu makanan khas dari Kota Palu. Dari namanya sendiri diambil dari ekspresi orang yang setelah makan makanan ini. Dimana mereka akan terlihat seperti orang yang sedang marah. Hal ini dikarenakan rasa pedas yang disajikan oleh palumara yang tergolong sangat pedas. Selain rasa pedas palumara juga mengambil rasa asam untuk berpaduan dengan rasa pedas.

Palumara dibuat menggunakan bahan dasar ikan yang menjadi khasnya Kota Palu yaitu ikan duo atau penja. Hal ini yang membuat ada nama palu di depan nama masakan yang satu ini. Bagi kamu pecinta masakan pedas, tidak ada salahnya mencoba palumara salah satu masakan khas dari Kota Palu ini.

Uta Dada

 

Uta Dada

Uta Dada
Image Credit: Twitter.com @negeri_sendiri

Uda dada atau dalam Bahasa Indonesia berarti kuah santan merupakan makanan yang menawarkan kuah santan dengan aroma khas. Makanan ini biasanya dibuat menggunakan ayam kampung atau ikan cakalang. Namun, biasanya tempat makan di Sulawesi Tengah hanya menawarkan 1 menu saja dari dua pilihan antara uta dada ayam kampung atau uta dada ikan cakalang.

Kuah santan yang memiliki aroma khas ini menawarkan rasa santan yang pedas dan sedikit asam. Rasa yang sudah menjadi ciri khas tersendiri bagi para warga di provinsi yang berlokasi di salah satu pulau terbesar di Indonesia tersebut.

Kaledo

 

1. Kaledo

Kaledo
Image Credit: Okezone.com

Kaledo merupakan makanan khas yang berasal dari Kota Palu. Makanan ini berupa sup kaldu yang dibuat menggunakan daging sapi dan tulang sumsum. Dengan cara pengolahan yang direbus dalam waktu yang lama sehingga menghasilkan daging yang lembut dengan kaldu yang kental.

Cara merebusnya juga tergolong unik. Dimana ketika air yang digunakan sudah mulai berkurang akan ditambah lagi sampai tulang sumsum atau daging sapi yang digunakan sebagai bahan utama sudah mulai mengelupas. Ketika daging sudah mengelupas barulah masukan bumbu lainnya untuk memperkuat rasa daging sapi dan tulang sumsum tersebut.

Legenda Tanduk Alam

 

          Tanduk Alam adalah seorang pemuka agama Islam dari Negeri Palembang, Sumatra Selatan yang mengembara hingga ke Negeri Banggai, Sulawesi Tengah, Indonesia. Suatu ketika, Raja Negeri Banggai meminta bantuannya untuk menyelamatkan putrinya yang diculik dan ditawan oleh orang Tobelo di Pulau Sagu.

          Alkisah, pada zaman dahulu kala, ada seorang pemuka agama Islam dari Negeri Palembang, Sumatra Selatan yang bernama Hasan Tanduk Alam atau lebih dikenal dengan Tanduk Alam saja. Suatu ketika, ia mengembara ke Negeri Banggai untuk berdagang dan menyebarkan agama Islam. Namun sebelum tiba di Negeri Banggai, ia singgah dan menetap di Tanah Sea-Sea.

          Ketika pertama kali tinggal di Tanah Sea-Sea, Tanduk Alam bekerja sebagai tukang emas dan membuat berbagai macam perhiasan. Mula-mula ia menjual hasil kerajinannya ke desa-desa sambil mengajarkan agama Islam kepada penduduk, sehingga ia tidak hanya dikenal sebagai tukang emas, tetapi juga sebagai ulama. Makin lama, Tanduk Alam pun tidak hanya dikenal di kalangan penduduk, tetapi juga di kalangan istana Negeri Banggai. Negeri tersebut dipimpin oleh Raja Adi Cokro dan dibantu oleh empat orang basalo atau pembantu raja.

          Pada suatu hari, kalangan istana dan seluruh rakyat Negeri Banggai gempar, karena putri Raja Adi Cokro tiba-tiba hilang. Sang Raja pun segera memerintahkan kepada seluruh bala tentara dan rakyat untuk mencari putrinya. Namun, setelah mencari ke seluruh penjuru Negeri Banggai, mereka tidak menemukan sang Putri. Mereka hanya mendengar kabar bahwa putri Raja diculik dan disembunyikan oleh orang-orang Tobelo di Pulau Sagu atas perintah Raja Ternate yang ingin menguasai Kerajaan Banggai.

           Mendengar kabar itu, Raja Adi Cokro segera memanggil keempat basalonya untuk mengadakan perundingan.

 

          “Wahai, para Basalo! Tentu kalian sudah mendengar berita tentang keberadaan putriku. Untuk itu, aku perintahkan kalian ke Pulau Sagu untuk membebaskannya!” perintah Raja Adi Cokro

          Keempat basalo tersebut segera berangkat ke Pulau Sagu bersama sejumlah prajurit istana.

          Sesampainya di sana, mereka segera menyerang orang-orang Tobelo. Namun mereka gagal membebaskan, karena jumlah pasukan orang-orang Tobelo yang ada di Pulau Sagu jauh lebih besar. Keempat basalo dan sejumlah prajurit istana yang masih tersisa kembali ke Negeri Banggai untuk menghadap Raja Adi Cokro.

          “Ampun beribu ampun, Baginda! Kami gagal membawa pulang Tuan Putri. Jumlah pasukan musuh di Pulau Sagu terlalu banyak. Kami tidak mampu melawan mereka,” lapor seorang basalo.

          Mendengar laporan itu, Raja Adi Cokro hanya terdiam. Ia sangat mencemaskan nasib putrinya yang ditawan di Pulau Sagu. Beberapa saat kemudian, ia bangkit dari singgasananya, lalu berjalan mondar-mandir sambil memikirkan cara untuk membebaskan putrinya. Suasana di ruang itu pun menjadi hening. Di tengah keheningan tersebut, salah seorang basalo dari Tano Bonunungan angkat bicara.

          “Ampun, Baginda! Hamba punya usul, bagaimana kalau permasalahan ini kita bicarakan dengan Tanduk Alam. Barangkali dia bisa membantu kita untuk membebaskan sang Putri,” sahut basalo dari Tano Bonunungan itu.

          “Hmmm…, benar juga katamu. Kalau begitu, panggil Tanduk Alam untuk segera menghadap kepadaku!” perintah sang Raja.

          “Baik, Baginda! Perintah Baginda hamba laksanakan,” ucap keempat basalo tersebut serentak.

 

          Keempat basalo tersebut segera berangkat ke Tanah Sea-Sea untuk memanggil Tanduk Alam. Beberapa lama kemudian, Tanduk Alam pun datang menghadap Raja dengan mengenakan pakaian kebesarannya.

          Ampun, Baginda! Ada apa gerangan Baginda memanggil hamba menghadap?” tanya Tanduk Alam.

          “Wahai, Tanduk Alam! Tentu kamu sudah mengetahui bahwa putri kesayanganku diculik dan disembunyikan oleh orang-orang Tobelo di Pulau Sagu,” kata Raja Adi Cokro.

          “Ampun, Baginda! Hamba hanya mendengar kabar tersebut. Tapi benarkah putri Baginda disembunyikan di Pulau Sagu?” Tanduk Alam kembali bertanya.

          “Benar, Tanduk Alam! Aku telah memerintahkan para pasukanku ke Pulau Sagu, namun mereka gagal membawa pulang putriku. Bersediakah kamu membantu prajuritku pergi ke pulau itu untuk membebaskan putriku?” pinta Raja Adi Cokro.

          “Baik, Baginda! Tapi hamba mempunyai satu permintaan,” jawab Tanduk Alam.

          “Apakah itu, Tanduk Alam?” tanya Raja Adi Cokro.

          “Hamba bersedia membantu membebaskan putri Tuanku, tapi hamba tidak perlu didampingi oleh pasukan dengan jumlah besar untuk menghindari jatuhnya banyak korban,” jawab Tanduk Alam.

          “Baiklah, jika itu yang kamu inginkan. Kamu hanya akan didampingi oleh keempat basaloku,” kata Raja Adi Cokro.

          Keesokan harinya, Tanduk Alam bersama keempat basalo tersebut berangkat ke Pulau Sagu dengan menggunakan perahu layar. Dalam perjalanan menuju Pulau Sagu, mereka pun mengatur siasat.

 

          “Wahai, Basalo! Sesampainya di Pulau Sagu, kita segera mencari tempat disembunyikannya sang Putri. Tapi, ingat! Kalian harus tetap tenang,” ujar Tanduk Alam.

          “Tapi, bagaimana caranya masuk ke tempat itu, Tuan? Palau Sagu telah dikuasai oleh orang-orang Tobelo. Tempat disembunyikan sang Putri pasti dijaga ketat,” sahut seorang basalo.

          “Kalau begitu, biar aku saja yang masuk ke pulau itu mencari tempat di mana tuan Putri disembunyikan. Kalian tunggu saja di perahu!” ujar Tanduk Alam.

          “Apakah tidak berbahaya jika Tuan sendiri yang masuk ke sana?” tanya seorang basalo yang lain.

          “Kalian tenang saja! Insya Allah aku bisa mengatasi semuanya,” jawab Tanduk Alam dengan penuh keyakinan.

          Pada saat tengah malam, mereka pun sampai di Pulau Sagu. Tanduk Alam pun segera naik ke pulau itu. Saat menginjakkan kaki di Pulau Sagu, Tanduk Alam segera duduk bersila sambil berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba ia menghilang. Betapa terkejutnya keempat basalo tersebut menyaksikan peristiwa itu dari atas perahu layar. Mereka takjub melihat kesaktian yang dimiliki oleh Tanduk Alam.

          Sementara keempat basalo tersebut menunggu di perahu layar sambil berjaga-jaga dari serangan musuh, Tanduk Alam telah menyelinap masuk ke tempat disembunyikannya putri Raja tanpa sepengetahuan orang-orang Tobelo yang sedang berjaga-jaga. Sesampainya di tempat itu, ia melihat sang Putri dikurung di dalam sebuah ruangan. Sementara orang-orang Tobelo yang bertugas menjaga ruangan itu sedang tertidur lelap. Tanduk Alam pun segera membuka pintu ruangan itu secara perlahan-lahan, lalu mendekati sang Putri yang juga sedang tertidur dan segera membangunkannya.

          Alangkah terkejutnya sang Putri saat ia terbangun dan melihat seorang pemuda berjubah di dekatnya.

 

           “Tenang, Tuan Putri! Aku diutus oleh Ayahandamu untuk membebaskanmu dari tempat ini,” kata Tanduk Alam dengan suara pelan.

          “Benarkah itu, Tuan?” tanya sang Putri.

          “Benar, Tuan Putri! Aku kemari bersama keempat basalo Ayahandamu. Mereka sedang menunggu di perahu,” jawab Tanduk Alam.

          “Ayo, Tuan Putri! Kita pergi dari tempat ini,” ajak Tanduk Alam.

           “Bagaimana caranya, Tuan? Bukankah tempat ini dijaga oleh orang-orang Tobelo?” tanya sang Putri bingung.

          “Duduklah dan pejamkan matamu, Tuan Putri! Kita akan keluar dari sini tanpa sepengetahuan orang-orang Tobelo itu,” ujar Tanduk Alam.

          Sang Putri pun menuruti perkataan Tanduk Alam. Saat sang Putri memejamkan matanya, Tanduk Alam memegang kedua tangan sang Putri sambil membaca doa. Sesaat kemudian, keduanya pun menghilang dari ruangan itu. Tidak berapa lama kemudian, tiba-tiba mereka berada di atas perahu. Betapa terkejutnya keempat basalo tersebut saat melihat Tanduk Alam dan sang Putri tiba-tiba muncul di samping mereka.

          “Ayo, Basalo! Lepaskan tali tambatan dan bentangkan layar dan kita segera meninggalkan tempat ini!” seru Tanduk Alam.

          Keempat basalo itu segera melaksanakan perintah Tanduk Alam. Keesokan harinya, saat matahari mulai terbit di ufuk timur, mereka tiba di Negeri Banggai dan segera membawa sang Putri ke istana.

          Kedatangan mereka pun disambut meriah oleh keluarga istana dan seluruh rakyat Negeri Banggai. Raja Adi Cokro sangat kagum atas keberhasilan Tanduk Alam membawa pulang putri kesayangannya. Raja Adi Cokro pun mengakui dan memuji kemampuan dan kesaktian Tanduk Alam.

 

          “Terima kasih, Tanduk Alam! Hadiah apa yang kamu inginkan dariku?” tanya Raja Adi Cokro.

          “Sekiranya Baginda tidak keberatan, hamba minta sebidang tanah kosong dan rawa-rawa untuk hamba tanami durian dan sagu,” jawab Tanduk Alam.

          “Permintaanmu akan aku kabulkan, Tanduk Alam!” jawab Raja Adi Cokro.

          “Terima kasih, Baginda Raja! Semoga hasilnya di kemudian hari tidak hanya bermanfaat bagi hamba, tetapi juga untuk kesejahteraan rakyat negeri ini,” ucap Tanduk Alam.

          Raja Adi Cokro pun semakin kagum terhadap kemuliaan hati Tanduk Alam. Ia pun segera memerintahkan para pengawal istana untuk membuka lahan perkebunan dan membersihkan rawa-rawa. Setelah semuanya selesai, Tanduk Alam pun memulai menanam durian di lahan perkebunan dan sagu di rawa-rawa.

          Beberapa tahun kemudian, Tanduk Alam memperolah hasil yang melimpah ruah. Hidupnya pun semakin sejahtera. Melihat keberhasilannya itu, Tanduk Alam senantiasa mengajak penduduk di sekitarnya untuk membuka lahan dan menanam durian dan sagu. Penduduk sekitar pun berbondong-bondong mengikuti jejak Tanduk Alam. Alhasil, hidup mereka pun ikut sejahtera.

          Sejak itu, Tanduk Alam semakin disukai oleh masyarakat Banggai. Dengan demikian, ia dapat menyiarkan agama Islam di daerah Banggai dengan mudah. Apalagi setelah Tanduk Alam menikah dengan Putri Basalo Tano Bonunungan, ia semakin mudah melaksanakan tugasnya. Dalam waktu singkat, pemeluk agama Islam di Negeri Banggai, khususnya di Tanah Sea-Sea dan Tano Bonunungan semakin bertambah.

          Begitulah penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Tanduk Alam di Negeri Banggai sampai ia meninggal dunia. Untuk menghargai jasa-jasa Tanduk Alam terhadap Negeri Banggai, masyarakat setempat mengubur jazadnya di belakang istana Kerajaan Banggai.

 

Cerita Rakyat Tolelembunga di Lembah Napu Sulteng

 


          Cerita Rakyat Tolelembunga ini adalah salah satu legenda yang ada di Desa Sedoa Kecamatan Lore Utara Kabupaten Poso Sulawesi Tengah. Tolelembunga ini adalah seekor kerbau yang sangat disayangi oleh Puteri Bunga Manila, kemanapun kerbau ini pergi Puteri Bunga Manila pun mengikutinya, sehingga setiap tempat pemberhentian mereka di jadikan pemukiman yang sampai saat ini sudah terbentuk desa.

          Bahwa nenek moyang mereka pertama kali mendiami lembah Napu dan menetap di Desa Sedoa, sehingga untuk menjaga agar tetap dikenang oleh seluruh keluarganya, maka nama-nama tokoh yang berperan sangat penting dalam kisah legenda-legenda seperti Bunga Manila, Tolelembunga, dll diabadikan pada penamaan jalan-jalan diseputar pusat Desa Sedoa.

          Cerita Rakyat Tolelembunga ini adalah salah satu legenda yang ada di Desa Sedoa Kecamatan Lore Utara Kabupaten Poso Sulawesi Tengah. Adapun dekripsi cerita dari Tolelembunga ini adalah sebagai berikut :

           Pada jaman dahulu terdapat sebuah kerajaan di Kecamatan Sigi-Biromaru (± 12 km sebelah selatan Kota Palu) bernama Kerajaan Sigi. Kerajaan yang subur tanahnya dan makmur kehidupan rakyatnya, dipimpin oleh seorang Ratu Agung yang terkenal adil dan bijaksana bernama Ratu Ngilinayo. Sang Ratu mempunyai seorang Puteri yang cantik yang bernama Puteri Bunga Manila yang memiliki hewan kesayangan seekor kerbau betina Tolelembunga yang konon katanya bertanduk 2 meter panjangnya.

          Suatu waktu Puteri Bunga Manila merasa khawatir karena selama beberapa hari kerbaunya, Tolelembunga tidak kembali ke kandang dan tidak diketahui kemana perginya. Maka dipanggilah 40 orang lelaki kuat untuk mencari, menemukan dan membawa kembali Tolelembunga pulang ke kandangnya.

          Maka pergilah orang-orang suruhan tersebut, dan ditemukanlah Tolelembunga sedang beristirahat. Dibawalah pulang kerbau tersebut menyusuri tepian sungai Sopu, namun pada suatu tempat yang bernama Petiro Ue atau Tawaelia, Tolelembunga tidak mau lagi berjalan karena ia merasa betah dengan suasana daerah itu. Karena Tolelembunga tidak mau pulang, akhirnya Puteri Bunga Manila pun datang tetapi Tolelembunga tetap tidak mau pergi. Maka diperintahkannyalah untuk membangun perkampunga yang akan mereka tinggali sampai tolelembunga mau di ajak pergi. Namun pada tahun ketujuh, Tolelembunga kembali pergi tanpa sepengetahuan Puteri Bunga Manila.

          Puteri Bunga Manila. Dalam perjalanannya Tolelembunga menemukan sumber air panas di Wombo (kubangan) dan dia menetap disitu karena tempat itu sangat indah yang dikelilingi gunung dan hamparan rumput yag subur. Setelah diketahui keberadaannya, Puteri Bunga Manila pun menyusulinya. Setelah sampai di daerah itu, Puteri Bunga Manila sangat tertarik dengan keindahan alam daerah tersebut. Jika berada di puncak gunung terlihat lembah Pekurehua (Napu) yang subur. Diperintahkannyalah rakyat yang ikut bersamanya untuk membangun perkampungan di Wakabola dan rumah adat “Sowa” sebagai istana serta “Dusunga” sebagai tempat bermusyawarah dengan tokoh masyarakat. Ditempat ini pulalah Puteri Bunga Manila menemukan seorang lelaki tampan yang bernama Sadunia dan mereka menjadi suami isteri yang berbahagia. Demikian pula Tolelembunga menemukan kerbau jantan besar bernama Beloiliwa dan mendapat keturuna yang banyak. Sejak saat itu Wakabola tumbuh berkembag menjadi kerajaan besar di lembah Pekurehua. Dari buah kasih Ratu Bunga Manila dan Sadunia lahirlah Puteri Posuloa.

          Demikianlah ringkasan cerita rakyat Totembunga, tetapi siapa yang menciptakan cerita ini tidak diketahui secara pasti juga tahun berapa munculnya cerita ini. Cerita ini berdasarkan kesaksian dari Pak Suroy mantan Ketua Adat dan Pak Tanambali mantan Kepala Desa yang sudah dibukukan oleh tenaga teknis Bidang Seni Sastra Taman Budaya Sulawesi Tengah, sehingga cerita ini masih ada dan masih diketahui oleh masyarakat.

 

Sumber : https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsulut/cerita-rakyat-tolelembunga-di-lembah-napu-sulteng/

۞ PETA LOKASI MA. Kabeloa Alkhairaat ۞
۞ MEDIA - SOSIAL ۞